Kompetensi itu Ibarat Kuda, ...
Kompetensi itu Ibarat Kuda, Sedangkan Sertifikasi itu Keretanya.
oleh : Agustinus Susanta
“Jika experiential learning itu ibarat lingkaran besar, maka unsur bisnisnya hanyalah satu lingkaran kecil di dalamnya saja,” demikian salah satu hal yang mengemuka dalam paparan Mas Agoes Susilo JP ketika bertemu para penggiat experiential learning Sumatera Selatan. “Maka, ketika masuk menjadi anggota AELI, serta yang utama digarap adalah sisi bisnisnya saja, hal tersebut perlu kontekskan lagi sesuai misi pendirian asosiasi.”
peserta pra sertifikasi fasilitator experiential learning |
Ya, pada 23,24 November 2015 lalu, AELI DPD Sumsel mengadakan Seminar & Workshop Experiential Learning dengan tema “Menjadi Fasilitator Berlisensi.” Seminar yang berlangsung di sekretariat AELI sumsel ini merupakan acara publik keempat yang diadakan pengurus sejak tahun 2013. 3 acara sebelumnya adalah:
- Workshop Nasional “Outdoor Education” pada 16,17 Oktober 2013, dengan narasumber Mas Soel Winarno & Mas Kresno Wiyoso.
- Workshop “Games Calistung menggunakan APE Kreatif,” pada 22 Mei 2014 bersama Mas Pranowo.
- Workshop “Pengembangan Karakter melalui Experiential Learning” pada 22 November 2014, dengan narasumber Bang Sutan Bonamora.
Acara yang sekaligus menjadi orientasi bagi para anggota AELI ini membuat Mas Agoes,-yang juga menjabat Ketua Bidang Keanggotaan & Organisasi DPP AELI,- menyampaikan tentang apa sih itu AELI, mulai dari sejarah, manfaat, sampai keanggotaannya. Terkait calon anggota, beliau menyampaikan apresiasi pada teman-teman di Sumsel karena keragaman anggotanya. Ya, tercatat 9 lembaga yang menghadiri seminar tersebut, tidak banyak sih, tapi macam-macam asalnya, misalnya ada yang berasal dari provider experiential learning, pemilik/ pengelola venue, LSM pemberdayaan masyarakat, Sekolah Alam, Seniman, PMI, dan event organizer.
Yang lebih seru, seminar tersebut juga dihadiri oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan. Tak pelak, narasumber juga menyampaikan berbagai peluang yang bisa disinergikan Antara AELI dengan sektor kepariwisataan, misalnya pengembangan suatu daerah yang berpotensi menjadi obyek wisata dengan pertama-tama mengenalkan para stakeholdernya melalui pendekatan experiential learning, baik dalam manajemen pengelolaan, pemeliharaan alam, maupun keragaman program wisatanya.
Materi experiential learning disampaikan secara menarik, ditimpa beberapa aktivitas permainan sederhana, baik dari peserta, maupun narasumber. Apa itu prinsip dan aplikasi experiential learning diterangkan dengan lugas. “Oh, ternyata experiential learning itu banyak variasinya, tidak hanya flying fox saja,” demikian seloroh salah satu peserta yang “terbelalak” pemikirannya akan fakta bahwa experiential learning bisa berperan dalam 4 karakter, yaitu dalam sifatnya yang rekreatif, edukatif, developmental, serta terapi. “Yang penting, kita tahu mana pembatasan keempatnya, dan lebih penting lagi kita bisa menggunakannya secara pas. Tak masalah dalam satu kegiatan bisa mencakup lebih dari 1 sifat, misalnya rekreasional dan edukasional, karena toh sebagian program yang digeluti oleh kita para pegiat experiential learning juga seperti itu adanya. Yang jadi masalah adalah ketika kita tidak tahu penjenisannya, lalu mencampuradukkannya dalam sebuah kegiatan sehingga tujuan penggunaan experiential learning malah bias dan tidak berdaya guna.” Demikian salah satu benang merah yang bisa diambil dalam sesi tersebut.
“Kereta kuda hanya bisa berjalan dengan wajar jika posisi kuda ada di depan dan menarik kereta yang ada di belakangnya, bukan sebaliknya, kereta di depan, kuda di belakang. Itu mirip dengan urusan kompetensi dan sertifikasi. Kompetensi itu ibarat kuda, sedangkan sertifikasi itu keretanya. Kompetensilah yang membuat seorang fasel bisa beraktivitas, sedangkan sertifikasi “hanyalah” pengakuan saja atas kompetensi tersebut. Jika dibalik, sertifikasi diposisikan sebagai penyebab kompetensi seorang fasel, itu cara pikir yang keliru. Ibarat mau menjalankan kereta kuda, tetapi keretanya di depan, kudanya di belakang, kacau deh.” Sungguh sebuah perumpamaan yang bagus, yang disampaikan Mas Agoes mengenai konteks sertifikasi dan kompetensi fasel.
Apakah seorang fasel harus kompeten, YA. Apakah sertifikasi penting, YA; namun sertifikasi bukanlah segala-galanya bagi seorang fasel. Secara pribadi, sertifikasi harus dikontekskan sebagai sarana pembuktian bahwa seseorang sudah kompeten akan suatu kompetensi. Ketika seorang fasel memang kompeten, dan ada pembuktian berupa sertifikasi dari BNSP, maka niscaya alur perkembangan kefasilitatorannya juga akan berbeda.
Sore menjelang, hujan deras menyerbu Bivac (Bina Vitalis Adventure Camp) tempat seminar berlangung. Gemuruh atap seng yang dihujani derasnya titik air tak menyurutkan suasana seminar yang justru makin hangat.
“Tep,” mati lampu, aliran listrik dari PLN macet, namun paparan dan diskusi tetap dilanjutkan. Namun ada tawaran dari narasumber dalam suasana kematilampuan tersebut, untuk melengkapi formasi pengurus DPD AELI Sumsel. Tawaran yang disambut baik para peserta tersebut akhirnya melahirkan proses pelengkapan dewan pengurus daerah; dari yang semula hanya ada Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Anggota, kini sudah dilengkapi dengan 4 bidang, yaitu: Bidang Organisasi & Keanggotaan, Bidang Hubungan Masyarakat, Bidang Usaha dan Dana, dan Bidang Pendidikan, Latihan, Penelitian dan Pengembangan.
Seperti ada yang mengatur saja, usai musyawarah pelengkapan pengurus DPD selesai, listrik tersambung kembali, dan akibatnya lampu menyala lagi. Maka, materi dilanjut lagi dong.
Pada sesi penutup, Narasumber memberi inspirasi akan pentingnya seorang fasilitator experiential learning mempunyai attitude yang sehat. Setelah membagikan buku keduanya, narasumber yang juga merupakan penulis buku Trilogi Outbound, sedikit membedah bukunya pada bab Pamali/ Pantangan bagi seorang fasel/ outbound trainer. Apa saja pantangan bagi fasel? Ternyata….
1. Jangan suka mengeluh.
2. Jangan bersikap boros.
3. Jangan merasa sok kuat.
4. Jangan menganggap provider lain sebagai musuh/ lawan.
5. Jangan amatiran.
6. Jangan melupakan ibadah.
Disertai dengan penceritaan beberapa pengalaman nyata, sesi “Menjadi fasilitator yang efektif dan inspiratif,” makin tercerna dengan baik oleh peserta seminar. Jadi, bagi seseorang yang memang serius masuk ke dunia fasilitator experiential learning, punya kompetensi itu tuntutannya, punya sertifikasi itu penting, dan punya sikap yang sehat itu tak kalah penting.
Petang menjelang, dan kegiatan seminar hari pertama pun ditutup dengan inspirasi serta wawasan baru yang didapat peserta tentang experiential learning dan dunia kefasilitatorannya.
Acara hari kedua berformat workshop, yang materinya ditekankan pada salah empat kompetensi fasel versi SKKNI, yaitu: manajemen resiko, memandu kegiatan tali tinggi, memandu kegiatan tali rendah, dan menolong korban.
Materi manajemen resiko sebagai pembuka workshop dibawakan oleh Agustinus Susanta, seorang Fasel tingkat Utama yang kebetulan juga menjadi Ketua DPD AELI Sumsel. Apa itu resiko, mengapa resiko harus ada dalam suatu pelatihan, sejauh mana resiko bisa diterima, dan bagaimana manajemen resiko dilakukan? Adalah beberapa hal yang disampaikan secara prinsip dalam sesi tersebut. Yang jelas, sesederhana apa pun, pengelolaan resiko kegiatan dalam experiential learning perlu dilakukan.
Materi selanjutnya adalah pengantar tentang sistem tali tinggi dan tali rendah yang dibawakan oleh Andreas Teguh dari Bivac dan Fadjri Ramadhan dari Cakrawala. Paparan dilakukan di dalam kelas, dilanjutkan dengan praktik di lapangan. Para peserta saling berbagi pengalaman tentang materi ini menggunakan perlengkapan yang dipinjam dari beberapa anggota. Keterbatasan waktu “memaksa” sesi ini diakhiri dengan kesadaran bahwa untuk menjadi fasel yang kompeten masih banyak hal yang perlu dipelajari lagi, terutama terkait tali tinggi dan tali rendah.
Usai makan siang, workshop dilanjutkan dengan materi pertolongan pertama yang dibawakan oleh tim PMI Kota Palembang yang dikoordinir oleh Pak Yoedhi S. Fakhar. Prinsip-prinsip pertolongan pertama, pengenalan aneka perlengkapan & obat, dan teknik retusisasi adalah sebagian materi yang disampaikan secara interaktif. Namun kembali karena keterbatasan waktu, saat petang menjelang sesi tersebut harus diakhiri juga. Kesadaran kolektif peserta mencanangkan bersama bahwa dalam kesempatan selanjutnya, perlu dilakukan lagi pelatihan tentang pertolongan pertama, tentu saja dengan waktu yang lebih memadahi.
Saat penutupan Seminar dan Workshop, peserta merefleksikan bahwa untuk menjadi fasel yang profesional, diperlukan kesadaran untuk selalu meningkatkan kompetensi diri dan membangun jejaring melalui AELI. Sertifikasi profesi fasel akan dipandang secara proporsional sebagai sebuah sarana pembuktian diri akan kompetensi, yang pada akhirnya akan digunakan untuk memuliakan profesi fasel. Tak kalah penting adalah bagaimana seorang fasel mempunyai cara pandang dan prilaku yang sehat serta membangun. Beberapa hal tadi mendorong AELI Sumsel untuk bisa sinergi dalam membuat dan melaksanakan berbagai program pengembangan EL.