3 Pilar Experiential Learning
Kini kita masuk ke dunia experiential learning, yang ternyata mengandung 3 hal integral yang menopangnya, yaitu sisi: Fisik, Intelektual,dan Emosi.
Rope course, di Kapinis Jati luhur di batu alami dapat melakukan rappeling, climbing dan burma bridge. |
FISIK
Apa mau, kita mengikutkan karyawan kita dalam program pelatihan peningkatan kerjasama, namun selama 4 hari hanya diisi ceramah saja? Pelatihnya terkenal lho, Profesor Anu, materinya sangat bagus, hasil riset tahun terakhir, kelasnya oke, dilengkapi sarana audiovisual tercanggih. Mau? Ya terserah sih…. , kalau saya sih nggak mau. Kenapa? Karena saya mengharapkan setelah pelatihan, para karyawan betul-betul bisa meningkat kerjasamanya, bukan sekedar “pengetahuan/ ilmu bekerjasama,” dan saya meyakini itu bisa ditempuh dengan latihan-latihan bekerjasama, bukan sekedar mendengarkan teori dan ceramah tentang kerjasama yang baik. Contoh pelatihan tadi bukannya jelek, namun itu bukanlah metode tertepat jika tujuannya adalah peningkatan kerjasama.
Kegiatan fisikal, psikomotorik, atau pergerakan adalah salah satu unsur utama dalam sebuah experiential learning. Ya, pembentuk utama dalam experiential learning adalah pengalaman yang melibatkan fisik atau tenaga peserta, misalnya membuat sesuatu, berjalan, berenang, berlari, menari, berkemah, menyeberangi danau, dan sebagainya. Mengambil contoh sebelumnya, jika bertujuan meningkatkan kerjasama, maka secara fisik, yang perlu dilakukan peserta pelatihan adalah aktivitas yang memang bisa memerlihatkan dinamika bekerjasama antarpeserta. Banyak, kok, permainan yang bertujuan mengembangkan kerjasama antarpemain, dan itu menjadi salah satu pilihan aktivitas fisiknya. Apapun hasil dari pengalaman fisik, itu bisa dilihat, dirasa, dan dianalisis/ dinilai bersama untuk diambil maknanya. Tanpa aktivitas fisik, experiential learning jadi absurd, dan pada akhirnya kita geser itu bukan lagi aktivitas experiential learning.
INTELEKTUAL
Sisi intelektual merupakan pengetahuan atau pemikiran yang ingin dipahamkan ketika seseorang mengikuti proses experiential learning. Contoh sederhananya begini, sebuah perusahaan ingin meningkatkan kualitas kerjasama antarkaryawannya, menggunakan pelatihan bermetode experiential learning. Maka jelaslah bahwa maksud experiential learning dalam konteks tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas kerjasama peserta. Dalam proses pelatihan, peserta dianimasi sedemikian rupa sehingga konten-konten bagaimana meningkatkan kerjasama (dilakukan dan) direnungkan/dipikirkan oleh peserta.
Proses berpikir atau mengolah pengetahuan (baru) mutlak diperlukan dalam experiential learning karena tanpa proses ini, susah bagi peserta untuk memaknai nilai-nilai dari pengalaman yang sudah dilaluinya. Dalam contoh pengalaman yang dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama, maka perlu dibuat sebuah dinamika/ pengalaman yang menuntut pengolahan pengetahuan/ sisi intelektual peserta. Kita perlu membuat skenario jika sebuah pengalaman tanpa dilandasi olah intelektual peserta, maka hasilnya bisa beda jika menggunakan olah “pengetahuan”. Ini bukan tentang gagal atau keberhasilan fisik semata, yha, namun tentang memertanggungjawabkan modal pengetahuan peserta dalam mengarungi pengalaman (baru). Bisa jadi lho, justru peserta yang secara intelektual dipandang pandai, justru “kalah” dalam hal bekerjasama dari peserta dari kalangan berkepintaran biasa-biasa saja.
EMOSI
Apa pun aktivitas dalam program experiential learning; hal itu menimbulkan dampak psikologis bagi pelakunya, entah senang, sedih, gembira, biasa-buiasa saja, membosankan, terkejut, heran, tersanjung, tertekan, dan sebagainya. Experiential learning yang baik harus menyertakan faktor “emosi” ini, karena tanpa unsur emosi, pengalaman akan terasa biasa saja, datar, tanpa sensasi, dan pada akhirnya tidak membawa kesan bagi pelakunya. Nah, kalau si pelaku sendiri kurang atau tidak terkesan, bagaimana mau mengangkat pengalaman tersebut sebagai sebuah pembelajaran? Berat, khan?
Sisi emosional dalam experiential learning memang relatif tidak terlihat secara fisik, namun bisa tercermin dalam suasana selama proses. Dengan ilmu yang bisa dipelajari saat akan menjadi fasel, maka kita bisa memprediksi dengan aktivitas fisik tertentu, maka akan timbul emosi-emosi tertentu dari peserta, dan itu justru yang diharapkan mendukung dalam proses pemaknaan pengalaman. Namun, bisa jadi kekacauanlah yang terjadi gara-gara kita tak memerhitungkan faktor emosi peserta. Kalau tidak karena tanpa greget, sebaliknya emosi peserta tak terkendali sehingga menutup hati untuk diajak memaknai pengalaman. Sama-sama kacau khan?